PENGOLAHAN PRODUK HORTIKULTURA PASCA PANEN

by - 10:48 AM

PENGOLAHAN PRODUK HORTIKULTURA PASCA PANEN
Oleh: Ario Miftahul Hikmah (13620025)
Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri 
Maulana Malik Ibrahim Malang
Produk Hortikultura Pasca Panen
Produk hortikultura seperti sayur-sayuran dan buah-buahan yang telah dipanen masih merupakan tanaman hidup. Hal ini dikarenakan sayur-sayuran dan buah-buahan tersebut masih mengalami proses-proses yang menunjukkan kehidupanya yaitu proses metablisme. Proses metabolisme ini dapat menguntungkan dan sangat merugikan bila tidak dapat dikendalikan karena dapat menimbulkan kerusakan atau kebusukan. Kebanyakan produk hortikultura memiliki karakter yang mudah rusak (perishable). Karakter produk hortikultura ini menyebabkan sulitnya dalam pemasaran, dikarenakan dengan mudah rusaknya komoditas maka mutu akan mudah menurun hingga mengakibatkan penurunan harga sehingga dapat mengalami kerugian.
Proses metabolisme misalnya pada buah yang telah dipanen dilakukan dengan menggunakan cadangan makanan yang terdapat dalam buah. Berkurangnya cadangan makanan tersebut tidak dapat digantikan karena buah sudah terpisah dari pohonnya, sehingga mempercepat proses hilangnya nilai gizi buah dan mempercepat senesen. Sedangkan tingkat kerusakan buah dipengaruhi oleh difusi gas ke dalam dan ke luar buah yang terjadi melalui lentisel yang tersebar di permukaaan buah. Perlambatan proses tersebut tentunya secara teoritis dapat pula dilakukan sehingga dapat memperlambat laju perusakan.

PROSES METABOLISME
Produk hortikultura setelah dipanen masih melakukan proses metabolisme yaitu proses Respirasi dan Transpirasi sehingga hal tersebut dapat memberikan kerugian. Adapun yang dimaksud respirasi menurut Campbell (2008) adalah proses penguraian bahan makanan yang menghasilkan energi. Respirasi dilakukan baik pada siang maupun malam hari. Respirasi terjadi pada seluruh bagian tubuh tumbuhan, pada tumbuhan tingkat tinggi respirasi terjadi baik pada akar, batang maupun daun dan secara kimia pada respirasi aerobik pada karbohidrat (glukosa) adalah kebalikan fotosintesis. Pada respirasi pembakaran glukosa oleh oksigen kan menghasilkan energi karena semua bagian tumbuhan tersusun atas jaringan dan jaringan tersusun atas sel, maka respirasi terjadi pada sel.
Reaksi yang terjadi pada proses respirasi sebagai berikut :
C6H12O6 + 6 O2 6 CO2 + 6 H2O

Transpirasi merupakan proses hilangnya air dalam bentuk uap air dari jaringan hidup tanaman yang terletak di atas permukaan tanah melewati stomata, lubang kutikula, dan lentisel. 80% air yang ditranspirasikan berjalan melewati lubang stomata, paling besar peranannya dalam transpirasi  Produk hortikutura yang telah dipanen ini juga melakukan transpirasi yang mencirikan bahwa produk ini tetap hidup. Sasmitamihardja (1996) menambahkan bahwa transpirasi penting bagi tumbuhan, karena berperan dalam hal membantu meningkatkan laju angkutan air dan garam mineral, mengatur suhu tubuh dengan cara melepaskan kelebihan panas dari tubuh dan mengatur turgor optimum di dalam sel.
PENANGANAN PASCA PANEN
Pengolahan yang tepat terhadap produk hortikultura segar setelah pemanenan atau di lapang produksi dan kemudian diteruskan hingga produk siap dikonsumsi perlu dilakukan untuk menjaga kualitas produk tetap baik. Deteriorasi atau perusakan produk dapat terjadi karena perlakuan pemangkasan, penjarangan produk, pemupukan, pengendalian hama-penyakit dan lain sebagainya. Untuk menghindari penyebab atau menunda permulaan deteriorasi perlu memperhatikan beberapa tindakan atau kegiatan budidaya tersebut.
Penanganan produk pasca panen untuk menangulangi proses metabolisme yang terjadi adalah dengan melakukan pelapisan (coating). Pelapisan dimaksudkan untuk melapisi permukaan produk dengan bahan yang dapat menekan laju respirasi maupun menekan laju transpirasi produk selama penyimpanan atau pemasaran. Pelapisan juga bertujuan untuk menambah perlindungan bagi produk terhadap pengaruh luar. Beberapa penelitian membuktikan bahwa pelapisan dapat memperpanjang masa simpan dan menjaga produk segar dari kerusakan seperti pada apel, leci, mangga, dan tomat.
Pelilinan (waxing) merupakan salah satu pelapisan pada buah untuk menambah lapisan lilin alami yang biasanya hilang saat pencucian, dan juga untuk menambah kilap buah. Keuntungan lain pelilinan adalah menutup luka yang ada pada permukaan buah. Pelilinan digunakan untuk memperpanjang masa segar buah atau memperpanjang daya tahan simpan buah bilamana fasilitas pendinginan (ruang simpan dingin) tidak tersedia. Namun perlu diingat bahwa tidak semua komoditi buah memiliki respon yang baik terhadap pelilinan. Faktor kritis pelilinan buah adalah tingkat ketebalan lapisan lilin. Terlalu tipis lapisan lilin yang terbentuk di permukaan buah membuat pelilinan tidak efektif, namun bila pelapisan terlalu tebal akan menyebabkan kebusukan buah,
Pelapisan lilin dapat menggunakan lapisan yang harus memenuhi syarat sebagai pelapis sehingga tidak membahayakan konsumen. Pelapisan lilin selain berfungsi sebagai penekan laju respirasi buah juga dapat mencegah buah terserang oleh mikroorganis yang dapat menurunkan kualitas buah. Salah satu pelapis yang tidak berbahaya adalah penggunaan edible film. Edibble film merupakan lapisan tipis yang dapat menyatu dengan bahan pangan, layak dimakan dan dapat diurai oleh mikroorganisme Edible film dibentuk sebagai coating pada permukaan bahan makanan atau bagian bahan yang berbeda  (Rachmawati,2010).
Beberapa macam lilin yang digunakan dalam upaya memperpanjang masa simpan dan kesegaran buah adalah lilin tebu (sugarcane wax) lilin karnauba (carnauba wax), resin, terpen resin termoplastik, shellac, lilin lebah madu (bees wax) dan sebagainya. Saat sekarang lilin komersial siap pakai yang dapat dan sering digunakan para produsen buah adalah lilin dengan nama dagang Brogdex-Britex Wax.
Salah satu jenis pelapis lainnya yang dikembangkan selain pelapis lilin adalah khitosan, yaitu polisakarida yang berasal dari limbah kulit udang-udangan (Crustaceae), kepiting dan rajungan (Crab). Khitosan mempunyai potensi yang cukup baik sebagai pelapis buah-buahan misalnya pada tomat dan leci. Sifat lain khitosan adalah dapat menginduksi enzim chitinase pada jaringan tanaman yaitu enzim yang dapat mendegradasi khitin yang merupakan penyusun dinding sel fungi, sehingga ada kemungkinan dapat digunakan sebagai fungisida. Teknik aplikasi atau penggunaan lilin pada buah dapat dengan menggunakan teknik pencelupan buah dalam larutan lilin (dipping), pembusaan (foaming), penyemprotan (spraying), dan pengolesan atau penyikatan (brushing).
Ioannou dan Mohamed ( 2013) dalam jurnalnya memberikan penjelasan terkait efektivitas dalam pelapisan (coating) yang terangkum dalam tabel berikut:
Tabel 1. Efektivitas Pengunaan Jenis dan Komposisi Pelapis masing-masing Produk

Produk
Jenis Pelapis

Perlakuan
Hasil
Referensi
Delima
Pati + gliserol
Pati + gliserol (2: 1)
Minyak biji (300/600 ppm)
15 menit pada suhu kamar
penundaan yang signifikan terhadap kecoklatan dengan lapisan tepung dengan minyak biji 300ppm.
(Oz & Ulukanli, 2012)

Putrescine + lilin Carnauba

Putrescine + lilin carnauba perlakuan diletakan dalam suhu penyimpanan2 °C paparan di 20 ◦C selama 3 hari

Penundaan yang sangat lama terhadap kerusakan, dan kecoklatan selama penyimpanan serta penurunan tingkat laju respirasi dan etilena
(Barman, Asrey & Pal, 2011)

Melon

Pektin
Dehidrasi osmotik dari melon segar-meletakkannya dalam 40 ° Bx sukrosa larutan yang mengandung 0,5% kalsium laktat solusi + pelapisan dengan pektin 1%

Bertambahnya kesegaran sampai 14 hari
ketahanan dan pelestarian struktur selular oleh kalsium laktat
Pengurangan kerusakan mekanis selama Penyimpanan
Meningkatkan kadar padatan larut produk, peningkatan penerimaan sensorik melon dilapisi oleh osmotik dehidrasi
(Ferrari, Sarantopoulos, Carmello-Guerreiro & Hubinger, 2011)

Alginate
Alginate + (2,5% + 0,7% MA serai, minyak kayu manis atau 0,3%)

Pencegahan hilangnya kecoklatan dan pembusukan

(Raybaudi-Massilia, Rojas-Graue, Mosqueda-Melgar & Martin-Belloso, 2008)
Apel
Konjak Glukomanan
Konjak Glukomanan + ekstrak buah nanas pada konsentrasi yang berbeda dalam distillated air

Keterlambatan enzimatik kecoklatan. hasil terbaik diperoleh dengan ekstrak buah nanas (1:1).
(Supapvanich, Prathaan & Tepsorn, 2012)

Alginate
Solusi alginate dengan lemongrass atau oregano minyak atau vanili + Dipping di kalsium klorida
Pencegahan hilangnya kecoklatan dan kebusukan
(Rojas-Graue, Soliva-Fortuny & Martin-Belloso, 2009)


Trehalose
Trehalose 0,8%, Sukrosa 0,1% dan natrium klorida 0.1%

Pelapis ini mengurangi fenomena browning. Namun, hanya penurunan berat badan yang diamati.
(Albanese, Cinquanta & Di Matteo, 2007)

Jamur
Gel lidah buaya dan/atau
Tragacanth karet

Gel Aloe vera (30% w/w) karet tragacanth (10% w/w) Gel Aloe vera + karet tragacanth (50% w/w) + kalsium klorida (0,2 g/l) dan asam sitrat (40 g/l)
Kombinasi dari keduanya lebih efisien untuk menunda kecoklatan.

(Mohebbi, Ansarifar, Hasanpour & Amiryousefi, 2012)

Pepaya
khitosan
Solusi khitosan 0.02 g/ml

Pencegahan hilangnya kecoklatan dan kebusukan
(Gonzalez-Aguilar et al., 2009)

Irisan mangga

khitosan
Mencuci, pengelupasan, memotong dan perendaman selama 1 menit dalam larutan pada pH chitosan 0, 0,5, 1 dan 2% = 5 menggunakan 0.1 M NaOH pengeringan pada 25 ° C 30 min penyimpanan pada 6° C

Pelapisan meningkatkan kesegaran, mengurangi berat badan, penundaan kecoklatan (7 hari tanpa perubahan signifikan warna) perbedaan antara 0,5 dan 1 / 2% chitosan solusi untuk menurunkan berat
(Chien, Sheu & Yang, 2007)

Stroberi

Perbandingan antara Pati, Carrageenan dan Chitosan

Karagenan 0,3% (w / v) pH = 5.6 dengan 50% asam sitrat + Tween 80 (surfaktan) antara 0,01 dan 0,1%

Pelapisan dengan Carrageenan memberikan hasil terbaik untuk mencegah perubahan warna dan hilangnya kebusukan.
(Ribeiro, Vicente, Teixeira & Miranda, 2007)


Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa setiap produk hortikultura memerlukan teknik, jenis dan komposisi pelapis yang berbeda-beda untuk mendapatkan efektivitas yang sesuai. Hal ini dikarenakan setiap produk memiliki karakteristik yang berbeda mulai dari ukuran, jenis kulit dan tanggapan fisiologis terhadap hasil pelapisan.

KESIMPULAN
Setiap produk hortikultura baik itu sayur-sayuran maupun buah-buahan yang telah dipanen tetap melakukan proses metabolisme berupa respirasi dan transpirasi. Proses metabolisme ini merugikan bagi manusia karena proses ini dapat mengakibatkan penurunan kualitas kandungan gizi dan mengakibatkan produk tersebut mengalami kerusakan sehingga menurunkan harga jualnya. Untuk itulah perlu dilakukannya pelapisan (coating) sebagai penganti pelapis alami produk hortikultura yang hilang akibat pencucian dengan harapan dapat  menekan laju respirasi dan transpirasi serta menambah perlindungan bagi produk terhadap pengaruh luar.
Bahan pelapis harus tidak berbahaya bagi konsumen. Pada umunya bahan pelapis yang digunakan yakni lilin alami seperti lilin tebu (sugarcane wax) lilin karnauba (carnauba wax), resin, terpen resin termoplastik, shellac, lilin lebah madu (bees wax) dan  khitosan, yaitu polisakarida yang berasal dari limbah kulit udang-udangan (Crustaceae), kepiting dan rajungan (Crab). Teknik pelapisan ini meliputi pencelupan produk dalam larutan pelapis (dipping), pembusaan (foaming), penyemprotan (spraying), dan pengolesan atau penyikatan (brushing). Efektivitas pengunaan pelapis ini tergantung pada jenis dan konsentrasi pelapis yang akan  digunakan untuk melapisi produk hortikultura tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Bahnasawy, Adel H and El-Sayed G Khater. 2014. Effect of Wax Coating on the Quality of Cucumber Fruits during Storage. Food Process Technol. Volume. 5. No. 6. Page: 1-8
Campbell, Neil A et al. 2008. Biologi Edisi Kedelapan jilid 1. Jakarta: Erlangga
Hassan, Z. H et al. 2014. Effects of Wax Coating Applications and Storage Temperatures on the Quality of Tangerine Citrus (Citrus reticulata) var. Siam Banjar. International Food Research Journal. Volume. 21. No. 2. Page : 641-648
Huigang Hu, et al. 2011. Effects of Wax Treatment on Quality and Postharvest Physiology of Pineapple Fruit in Cold Storage. African Journal of Biotechnology. Volume. 10. No. 39. Page: 7592-7603
Ioannou, Irina and Mohamed Ghoul. 2013. Prevention of Enzymatic Browning in Fruit and Vegetables. European Scientific Journal. Volume. 9. No.30. Page: 310-340
Mazatán, Gladis Yakeline Cortez et al. 2011. Polyvinyl Acetate as an Edible Coating for Fruits Effect on Selected Physiological and Quality Characteristics of Tomato. Revista Chapingo Serie Horticultura 17(1): 15-22
Minh, Nguyen Phuoc. 2014. Application of Edible Coating for Acerola Preservation. International Journal of Multidisciplinary Research and Development. Volume. 1. No. 6. Page: 173-177
Puttalingamma, V. 2014. Edible Coatings of Carnauba Wax ––A Novel Method For Preservation and Extending Longevity of Fruits and Vegetables- A Review.
Internet Journal of Food Safety. Volume. 16.no. 1. Page: 1-5
Puttalingamma, V. 2015. Post Harvest Losses of Fruits, Vegetables and Its Safety-A Review. International Journal of Advanced Research. Volume. 3. No. 1. Page: 906-911
Rachmawati, Maulida. 2010. Pelapisan Chitosan Pada Buah Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.) Sebagai Upaya Memperpanjang Umur Simpan dan Kajian Sifat Fisiknya Selama Penyimpanan. Jurnal Teknologi Pertanian. Volume. 6. No.2. Halaman : 45-49
Rajkumar, P and D. Mitali. 2009. Effect of Different Storage Menthods on Nutritional Quality of Waterapple Fruits (Syzygium javanica L). Bulgarian Journal of Agricultural Science. Volume. 15. No 1. Page: 41-46
Sasmitamihardja, Dardjat dan Arbayah H. Siregar. 1996. Dasar- Dasar Fisiologi Tumbuhan. Bansdung: ITB Press
Suseno, Natalia et al. 2014. Improving Shelf-Life of Cavendish Banana Using Chitosan Edible Coating. Procedia Chemistry. Volume. 9. No. 1. Page: 113 – 120

You May Also Like

0 comments