HARUSKAH EVOLUSI BERTENTANGAN DENGAN AGAMA ?
HARUSKAH
EVOLUSI BERTENTANGAN DENGAN AGAMA ?
Oleh:
Ario Miftahul Hikmah (13620025)
Jurusan
Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri
Maulana
Malik Ibrahim Malang
Agama
merupakan suatu kebutahan hakiki yang tentunya dimiliki dan dibutuhkan oleh
setiap manusia dalam menjalankan kehidupannya. Secara etimologis agama berasal
dari bahasa Sansekerta yakni “A” yang berarti tidak dan “Gama” yang berarti
sembaranagan. Agama berarti tidak sembarangan, maksudnya orang yang memiliki
agama dalam menjalankan hidupnya tidak akan sembarangan dalam mengambil
tindakan. Lantas bagaimana dengan ateis/orang yang tidak percaya dengan tuhan?
Ateis termasuk didalamnya, karena agama bisa saja tidak mengakui tuhan, atau
dalam proses mencari Tuhan!.
Definisi
evolusi biologi bermacam-macam tergantung dari aspek biologi yang dikaji.
Beberapa definisi yang umum dijumpai di buku-buku biologi, antara lain: evolusi
pada makhluk hidup adalah perubahan-perubahan yang dialami makhluk hidup secara
perlahan-lahan dalam kurun waktu yang lama dan diturunkan, sehingga lama
kelamaan dapat terbentuk spesies baru: evolusi adalah perubahan frekuensi gen
pada populasi dari masa ke masa; dan evolusi adalah perubahan karakter adaptif
pada populasi dari masa ke masa.
Perdebatan antara ilmu
pengetahuan dan agama bukan hal yang baru. Sejak manusia mengenal agama dan di
sisi lain kecerdasan manusia berkembang, manusia menggunakan daya nalarnya
untuk menangkap dan memahami fenomena alam. Ilmu pengetahuan lahir sebagai
konsekuensi kecerdasan manusia. Dengan ilmu pengetahuan manusia berusaha
menjelaskan kehidupan yang pada beberapa hal jika dijelaskan dari sudut pandang
agama sering sukar difahami secara langsung. Sering kita terlalu dini menilai
suatu teori illmiah bertentangan dengan agama. Sementara perkembangan
ilmu telah banyak mengungkap kesesuaian antar isi kitab suci dengan fenomena
yang ada di alam. Sungguh kurang adil dan kadang tidak pada tempatnya jika
selalu mengadu kebenaran ilmu pengetahuan dengan agama. Keduanya mempunyai
dasar yang berbeda.
Mempertanyakan mana yang
lebih benar dan ilmiah apakah ilmu pengetahuan ataukah agama akan sangat
membuang waktu dan energi. Keduanya memiliki dasar dan metode pamahaman yang
berbeda. Yang perlu disadari seberapapun besar usaha yang dilakukan oleh ilmu
pengetahuan untuk mengungkap alam semesta, masih sangat kecil dibanding dengan
apa yang ada dan sesungguhnya terjadi di alam ini, yang masih menjadi
rahasia milik Tuhan.
Di sisi lain seolah-olah
sering terjadi ketidaksesuaian penjelasan tentang sebuah fenomena yang sama
dari sudut pandang ilmu pengetahuan dan agama. Ketidaksesuaian yang kadang
berujung pada penolakan terhadap sebuah teori atau penemuan ilmiah. Contohnya
dulu teori tentang bumi bulat mendapat tentangan keras dari sejumlah golongan
yang meyakini bahwa bumi datar karena Tuhan “menghamparkan” bumi. Kini semua
sepakat bahwa maksud “menghamparkan” tidaklah berarti bumi datar karena pada
kenyataannya ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa bumi memang bulat. Lantas
bagaimana? Apakah Evolusi bertentangan dengan Agama?
Evolusi
Evolusi merupakan salah satu teori
maupun cabang dalam khasanah ilmu pengetahuan. Teori tersebut menyatakan
terjadinya sebuah perubahan pada makhluk hidup atau spesies secara gradual
(perlahan-lahan). Perubahan yang dihasilkan m embutuhkan waktu yang cukup lama
dalam menghasilkan spesies atau makhluk hidup yang baru. Teori evolusi menjadi
sebuah teori yang tenar ketika dipopulerkan oleh seorang ilmuan Inggris Chalres
Darwin (1809-1882). Teori evolusi Darwin dihasilkan dari sebuah ekspedisi yang
Darwin lakukan pada saat pelayaran menjelajahi daratan maupun lautan Amerika
Selatan (Sutrisno, 2015)
Ada dua gagasan utama Darwin dalam
bukunya On the Origin of Species. Pertama adalah spesies-spesies yang
ada sekarang ini merupakan keturunan dari spesies moyangnya. Dalam edisi
pertama bukunya, Darwin tidak menggunakan kata evolusi. Dia menyebutnya
modifikasi keturunan (descent with modifcatioii). Gagasan utama
yang kedua adalah seleksi alam sebagai mekanisme modifikasi keturunan
(Darwin, 1859 dalam Luthfi dan Khusnuryani, 2005).
Ketika seorang ahli biologi
mengatakan "teori evolusi Darwin" maksudnya adalah seleksi alam
sebagai penyebab evolusi, bukan fenomena evolusi itu sendiri. Ide dasar seleksi
alam adalah bahwa suatu populasi dapat berubah dari generasi ke generasi bila
individu yang punya ciri genetis tertentu menghasilkan lebih banyak keturunan
daripada individu lain. Seleksi
alam menghasilkan evolusi adaptif, yaitu suatu peningkatan
frekuensi populasi pada suatu ciri yang cocok dengan lingkungan tertentu. Dalam
istilah modern dikatakan bahwa komposisi genetik populasi berubah dari waktu ke
waktu, dan ini adalah salah satu definisi evolusi. Namun demikian, pada skala
yang lebih luas, kita dapat mengartikan istilahevolusi dengan keseluruhan
sejarah biologi, dari mikroba yang paling awal sampai keanekaragaman yang luar
biasa pada organisme modern (Luthfi dan Khusnuryani, 2005).
Namun seiring dengan perjalanan
waktu teori evolusi mengalami penyempurnaan atau modifikasi hingga sampai saat
ini. Seperti halnya teori evolusi Darwin menjadi teori evolusi sintesis modern.
Teori tersebut hingga sampai saat ini menjadi populer dikalangan masyarakat
umum. Didalam gagasan teori evolusinya yang Darwin jelaskan dalam bukunya The
On the Origin of Species terdapat dua pokok gagasan yang Darwin jelaskan
dalam bukunya tersebut. Pertama adalah spesies-spesies yang ada sekarang ini
merupakan keturunan dari spesies moyangnya. Diedisi pertama bukunya, Darwin
tidak menggunakan kata evolusi. Darwin menyebutnya modifikasi keturunan (descent
with modifcation). Gagasan utama yang kedua adalah seleksi alam sebagai
mekanisme modifikasi keturunan (Luthfi dan Khusnuryani, 2005).
Dari awal kemunculan teori evolusi
Darwin telah memunculkan polemik dari berbagai kalangan naturalis (ilmuan),
akademisi maupun agamawan. Ketidaksepakatan terhadap konsep evolusi Darwin
diawali oleh Uskup Samuel Wilberforce pada saat pertemuan British
AssocDarwintion for the Advancement of Scince (sekarang dikenal sebagai
BA), diadakan di Oxford University Museum pada 1860 (The Natural
History Museum,2008 dalam Sutrisno, 2015).
Sebagai kalangan agamawan mengaggap
kreasionisme sesuai dengan ajaran agama. Karena hal tersebut sudah tersirat
atau dinashkan dalam kitab suci agama samawi. Seperti halnya Harun Yahya yang
merupakan pioner kreasionisme islam yang tampil didepan dalam mengkampayekan
kreasionisme dari presfektif islam. Harun Yahya dan penganut kereasionisme
islam mencoba menukil dalil Al-Quraan sebagai sebuah pijakan untuk menolak
teori evolusi. Seperti surat At Tin 4 dan Al-Baqarah 30.
Asal
Mula Kehidupan
Evolusi didefinisikan sebagai perubahan secara
berkala (changes overtime). Jadi menurut teori evolusi, alam semesta beserta
isinya terbentuk dari bahan yang sangat primitif melalui rangkaian perubahan
yang terjadi secara perlahan selama jutaan tahun. Umumnya, evolusi alam semesta
tidak menjadi masalah dengan ajaran Islam karena teori mengenai proses
pembentukan alam semesta (Teori Big Bang) sesuai dengan proses penciptaan alam
yang diuraikan di dalam AlQur'an (51:47;21:30) (Sofyan, 2011).
Q.S. Adz-Dzaariyat (51:47)
47. Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan
(kami) dan sesungguhnya kami benar-benar berkuasa
30. Dan
apakah orang-orang kafir yang tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan antara keduanya.
Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup, maka mengapakah mereka
tiada juga beriman?
Teori Asal Mula Manusia menurut Charles Darwin
(Sofyan, 2001):
Pernyataan Darwin mendukung bahwa manusia
modern berevolusi dari sejenis makhluk yang mirip kera. Selama proses evolusi
tanpa bukti ini, yang diduga telah dimulai dari 5 atau 6 juta tahun yang lalu,
dinyatakan bahwa terdapat beberapa bentuk peralihan antara manusia moderen dan
nenek moyangnya. Menurut skenario yang sungguh dibuat-buat ini, ditetapkanlah
empat kelompok dasar sebagai berikut:
1.
Australophithecines (berbagai bentuk yang
termasuk dalam genus Australophitecus)
2.
Homo
habilis
3.
Homo
erectus
4. Homo sapiens
Genus yang dianggap sebagai nenek moyang
manusia yang mirip kera tersebut oleh evolusionis digolongkan sebagai Australopithecus, yang
berarti "kera dari selatan." Australophitecus,yang tidak
lain adalah jenis kera purba yang telah punah, ditemukan dalam berbagai bentuk.
Beberapa dari mereka lebih besar dan kuat ("tegap"), sementara yang
lain lebih kecil dan rapuh ("lemah"). Dengan menjabarkan
hubungan dalam rantai tersebut sebagai "Australopithecus > Homo
Habilis > Homo erectus > Homo sapiens,"
evolusionis secara tidak langsung menyatakan bahwa setiap jenis ini adalah
nenek moyang jenis selanjutnya.
Asal Mula
Manusia berdasarkan Al-Qur'an (Nabi Adam a.s) (Sofyan, 2001):
Saat Allah Swt. merencanakan penciptaan
manusia, ketika Allah mulai membuat “cerita” tentang asal-usul manusia,
Malaikat Jibril seolah khawatir karena takut manusia akan berbuat kerusakan di
muka bumi. Di dalam Al-Quran, kejadian itu diabadikan,
".. Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat, 'Sesungguhnya, Aku akan menciptakan seorang
manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi
bentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan
ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan
bersujud" (QS. Al Hijr: 28-29).
Adam adalah ciptaan Allah yang memiliki akal
sehingga memiliki kecerdasan, bisa menerima ilmu pengetahuan dan bisa mengatur
kehidupan sendiri. Inilah keunikan manusia yang Allah ciptakan untuk menjadi
penguasa didunia, untuk menghuni dan memelihara bumi yang Allah ciptakan. Dari
Adam inilah cikal bakal manusia diseluruh permukaan bumi. Melalui pernikahannya
dengan Hawa, Adam melahirkan keturunan yang menyebar ke berbagai benua
diseluruh penjuru bumi; menempati lembah, gunung, gurun pasir dan wilayah
lainnya diseluruh penjuru bumi. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT yang
berbunyi:
"Dan
sesungguhnya Kami muliakan anak-anak Adam; Kami angkut mereka didaratan dan di
lautan; Kami berikan mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyak makhluk yang telah Kami
ciptakan." (QS. al-Isra' [17]: 70)
Menurut para
ahli mufassirin, salah satu diantaranya adalah Ibnu Jazir, dalam kitab tafsir
Ibnu Katsir mengatakan: "yang dimaksud dengan mahluk sebelum Adam
diciptakan adalah Al-Jan (golongan jin) yang suka berbuat kerusuhan. Namun ada
juga yang mengatakan bahwa telah ada 3 ummat yang utama sebelum adam, dua
diantaranya adalah bangsa jin, sedangkan yang ketiga dari golongan yang berbeda
dengan jin, mereka ini mahkluk berdarah dan berdaging.
Dalam literatur
arkeologi, berdasarkan fosil yang ditemukan, memang ada mahkluk lain yang
nyaris seperti manusia,tetapi memiliki karakteristik yang sangat primitif dan
tidak berbudaya.Volume otak mereka lebih kecil dari manusia, sehingga kemampuan
mereka terbatas. Kelompok makhluk ini kemudian dinamakan Neanderthal oleh para
arkeologi. Sebagai contoh Pithecantropus
erectus volume otaknya 900cc dan Homo
sapiens di atas 1000cc. Maka dari itu bisa diambil kesimpulan bahwa
semenjak 20.000 tahun yang lalu telah ada sosok makhuk yang memiliki akal yang
mendekati kemampuan berpikir manusia pada zaman sebelum kedatangan adam NAMUN
bukan dari golongan manusia.
Pandangan
Agama terhadap Evolusi
Teori ilmiah apa pun sesungguhnya
tidak dapat meniadakan Tuhan (Weisz, 1982 dalamLuthfi dan Khusnuryani, 2005).
Beberapa penafskan ateistik atas teori ilmiah merupakan bentuk dari
"saintisme", yaitu keyakinan bahwa hanya sainslah satu-satunya
cara untuk mengetahui. Saintisme memandang bahwa hanya alam (material)
satu-satunya realitas yang ada, dan segala hal yang tidak dapat dijangkau sains
adalah ilusi (Bube , 2001 dalam Luthfi dan Khusnuryani, 2005). Penafsiran
demikian keliru karena melampaui hal-hal yang dapat dijelaskan sains
(Harbour,2002 dalam Luthfi dan Khusnuryani, 2005).
Sebaliknya teori ilmiah tidak dapat
begitu saja menghasilkan simpulan-simpulan keagamaan, karena kebenaran ilmiah
adalah relatif dan bersandar pada asumsi-asumsi dasar serta bergantung pada
teori yang ada. Agama (wahyu) merupakan petunjuk bagi umat manusia,
kebenarannya bersifat mudak. Keyakinan keagamaan dengan sendirinya
tidak membutuhkan dukungan dari ataupun perlu mendukung teori ilmiah apa pun.
Sejarah pertentangan gereja dengan dengan saintis seharusnya menjadi pelajaran
berharga dalam melihat hubungan sains dan agama.
Seorang yang memilih berpaham ateis
hanya akan berhenti pada kesadaran akan harmoni, keteraturan dan kesatuan alam.
Mereka tidak dapat menyadari makna di baiik semua itu. Kejadian alam dianggap
semata-mata masalah probabilistik yang ada dan mengada dengan
sendirinya, tanpa arah dan tujuan. Tidak mengherankan kalau seorang
fisikawan ateis terkemuka, Steven Weinberg, mengatakan bahwa manusia adalah
satu-satunya makhluk dengan pikiran sadar yang hidup di alam yang penuh
kesia-siaan dan kehampaan makna. Baginya sains merupakan pelipur lara di tengah
alam maha luas yang tak bertujuan.
Bagi orang beriman semua hal
tersebut mempunyai makna religius dan merupakan simbol dari adanya realitas
tertinffi, yaitu AJlah, sebagaimana telah dijelaskan dalam ayat-ayat
al-Qur'an. Dalam bahasa al-Qur'an alam dikatakan mengandung dalam dirinya
jejak-jejak Tuhan. Fenomena alam disebut sebagai ayat (tanda-tanda) Tuhan
(Bakar,1995 dalam Luthfi dan Khusnuryani, 2005).Al Qur'an adalah kitab hidayah
yang memberikan keterangan kepada manusia tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan akidah, syariah dan akhlak untuk mencapai kebahagiaan hidup
di dunia dan akhirat.
Ada beberapa muslim yang mencoba
membenarkan teori evolusi dengan ayat-ayat Al Quran seperri "Mengapa kamu
tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan
kamu dalam beberapa tingkat kejadian" (QS Nuh : 13-14). Mereka menafsirkan
fase-fase tersebut adalah sesuai dengan fase-fase yang diakui oleh penganut
teori evolusi Darwin tentang proses kejadian manusia. Selain itu ayat "
Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang
memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi " (QS Ar Ra'd : 17)
digunakan sebagai penguat kebenaran teori "'struggle for life" yang
menjadi salah satu landasan teori Darwin.
Selain itu QS Al An'am : 133 juga
dianggap mendukung teori evolusi. Ada yang memahaminya bahwa suatu spesies
berasal dari spesies lain atau suatu makhluk yang ada berasal dari makhluk
sebelumnya. Berdasarkan tafsiran tersebut dapat saja disimpulkan bahwa tidak
ada perbedaan antara konsep Al Quran dengan konsep ilrnu pengetahuan tentang
asal usul manusia. Akan tetapi selanjutnya timbul pertanyaan, apakah pendapat
tersebut benar ataukah dibuat/ diarahkan agar ada kesesuaian? Hal yang perlu
diperhatikan adalah bahwa ayat-ayat tersebut tidak dapat dipaksakan menjadi
dasar pembenar teori Darwin, tetapi bukan berarri pula bahwa teori tersebut
adalah salah menurut Al Quran. Penulis berpendapat bahwa Al-Qur'an tidak
menjelaskan secara rinci apakah penciptaan makhluk hidup melalui proses evolusi
atau penciptaan terpisah. Penolakan atau dukungan terhadap teori evolusi
seharusnya didasarkan pada bukti-bukti empiris melalui metode ilrniah.
Di luar pertanyaan di atas,
sebenarnya lima abad sebelum munculnya teori evolusi Darwin (1804—1872) telah
ada seorang ilmuwan muslim yang menuliskan pendapatnya tentang evolusi. Ilmuwan
muslim tersebut adalah 'Abdurrahman Ibn Khaldun (1332—1446) yang menulis dalam
kitabnya Kjtab al-'Ibarft Daiivani al-Mubtada' u>a al- Khabari sebagai
berikut, "Alam binatang meluas sehingga bermacammacam golongannya dan
berakhir proses kejadiannya pada masa manusia yang mempunyai pikiran dan
pandangan. Manusia meningkat dari alam kera yang hanya mempunyai kecakapan dan
dapat mengetahui tetapi belum sampai pada tingkat memiliki dan berpikir"
(Shihab, 2003). Yang dimaksud kera oleh 'Abdurrahman Ibn Khladun adalah sejenis
makhluk yang oleh para penganut evolusionisme disebut Anthropoides. Ketika
menemukan teori tersebut Ibn Khaldun dan ilmuwan-ilmuwan lainnya tidak merujuk
pada ayat-ayat al-Qur'an, tetapi mereka mendasarkannya pada penyelidikan dan
penelitian mereka.
Kesalahpahaman
dalam Memahami Teori Darwin
Pada dasarnya teori evolusi darwin menjelaskan
bahwa setiap organisme itu selalu berevolusi agar tetap bisa survive (bertahan
hidup). Perubahan yang dimaksud disini merupakan perubahan tingkat gen yang
akhirnya merubah keadaan individu tersebut akan tetapi tidak sampai berubah
spesies. Manusia berasal dari Kera, ini merupakan penjelasan teori darwin yang
salah. Darwin tidak prnah sekalipun menjelaskan bahwa Kera berubah menjadi
Kera.
Teori
evolusi Darwin tidak membahas bahwa manusia berevolusi dari kera, gorila atau
simpanse. Jika membaca teliti buku The Origin of Species, tak akan ditemukan Darwin berkata
asal-usul dirinya dan manusia lainnya adalah kera. Teori evolusi Darwin memang mencoba memikirkan bahwa
manusia mungkin berasal dari nenek moyang yang mirip dengan kera. Kemudian
beberapa ciri pada manusia ternyata juga dimiliki oleh kera dan kerabatnya.
Apakah “mirip” dengan kera harus berarti kera?. Entah siapa yang pertama kali
mengeluarkan pendapat ekstrim kalau Teori Evolusi Darwin menyebutkan manusia
berasal dari kera. Buku lain mungkin demikian, tapi The Origin of Species milik Darwin
tidak bercerita tentang itu. Karena sebaliknya teori evolusi justru “mengakui”
masih kebingungan mencari hubungan antara manusia purba nenek moyang kita
dengan kera, gorila atau monyet. Meski kita tidak dapat mengingkari
kenyataan bahwa ada sebagian ciri pada tubuh kita yang juga dimiliki oleh
kera atau gorila.
Dalam bukunya, Darwin juga
secara tersirat mengakui kekurangan-kekurangan teori evolusinya. Jadi jelaslah
sudah bahwa mereka yang menyebutkan Darwin dan teori evolusinya menyimpang
karena mendefinisikan manusia berasal dari kera adalah sebuah “persepsi” yang
terlalu dini atau bahkan cenderung emosional. Persepsi dan emosi yang awalnya
wajar namun sering digiring kepada masalah keyakinan seseorang. Sayangnya,
mereka yang memiliki kecerdasan tinggi tentang agama dan ilmu pengetahuan
justru terlanjur terjebak pada kubu “pro” dan “kontra” dan melupakan tugas
sesungguhnya yaitu “menarik kesimpulan”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pemahaman yang dangkal terhadap teori evolusi Darwin menyebabkan kita salah
persepsi dalam memahami maksud yang ingin disampaikan oleh Darwin. Darwin
menjelaskan bahwa makhluk hidup yang lebih kompleks (sesuai) dengan lingkungan
akan dapat survive, hal ini sesuai dengan Al-Quran bahwa Allah menciptakan
makhluk hidup dengan sempurna. Teori Darwin ini hanyalah satu diantara sekian
banyak teori lain yang ingin mencoba mengungkap rahasia Tuhan, benar tidaknya?
Wallahu
a’lam bisshowab
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’anul
Karim
Bube, R.H. 2001. "Three Views of Creation and Evolution"
in R.L. Herrmann (ed.), ExpandingHumanity's Vision of God, Philadelphia:
Templeton Foundation Press
Bakar, O. 1995. Tauhid dan Sains, Esai-esai tentang Sejarah dan
Pilsafat Sains Islam. Bandung: Pustaka Hidayah
Darwin, C.
1859. On the Origin of Species. London: Murray
Harbour, I.G. 2002. ]uru Ricara Ttthan antara Sains dan Agama. Bandung:
Mizan
Luthfi1, M. J. dan A. Khusnuryani. 2005. Agama dan Evolusi: Konflik Atau Kompromi?.
Kaunia. Vol. 1, No. 1
Shihab, M.Q. 2003. Membumikan Al Quran: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan
Sofyan,
Agus. 2001. Evolusi dalam islam. http://flp-usacanada.org/index.php?option=com
content&view=article&id+101:evolusi-dalam-islam&catid=49:tulisan-n0n-fiksi.
Diakses pada hari Selasa 17 Mei 2016 pukul 21.00WIB
Sutrisno, Wahyudi. 2015. Teori Evolusi Darwin dalam Perspektif
Islam. Naskah Publikasi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Surakarta
The Natural
History Museum. 2008. Timeline of Charles Darwin’s life. London
Weisz. P.B. and R.N. Keogh. 1982. The Science offtiology. Fifth
Edition. New York: McGraw-Hill Book Company
0 comments