PENGOLAHAN PRODUK HORTIKULTURA PASCA PANEN
PENGOLAHAN PRODUK HORTIKULTURA PASCA PANEN
Oleh:
Ario Miftahul Hikmah (13620025)
Jurusan
Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri
Maulana
Malik Ibrahim Malang
Produk Hortikultura Pasca Panen
Produk
hortikultura seperti sayur-sayuran dan buah-buahan yang telah dipanen masih
merupakan tanaman hidup. Hal ini dikarenakan sayur-sayuran dan buah-buahan
tersebut masih mengalami proses-proses yang menunjukkan kehidupanya yaitu
proses metablisme. Proses metabolisme ini dapat menguntungkan dan sangat
merugikan bila tidak dapat dikendalikan karena dapat menimbulkan kerusakan atau
kebusukan. Kebanyakan produk hortikultura memiliki karakter yang mudah rusak
(perishable). Karakter produk hortikultura ini menyebabkan sulitnya dalam
pemasaran, dikarenakan dengan mudah rusaknya komoditas maka mutu akan mudah
menurun hingga mengakibatkan penurunan harga sehingga dapat mengalami kerugian.
Proses
metabolisme misalnya pada
buah yang telah dipanen dilakukan dengan
menggunakan cadangan makanan yang terdapat dalam buah. Berkurangnya cadangan
makanan tersebut tidak dapat digantikan karena buah sudah terpisah dari
pohonnya, sehingga mempercepat proses hilangnya nilai gizi buah dan mempercepat
senesen. Sedangkan tingkat kerusakan buah dipengaruhi oleh difusi gas ke dalam
dan ke luar buah yang terjadi melalui lentisel yang tersebar di permukaaan
buah. Perlambatan proses tersebut tentunya secara teoritis dapat pula dilakukan
sehingga dapat memperlambat laju perusakan.
PROSES
METABOLISME
Produk
hortikultura setelah dipanen masih melakukan proses metabolisme yaitu proses
Respirasi dan Transpirasi sehingga hal tersebut dapat memberikan kerugian.
Adapun yang dimaksud respirasi menurut Campbell (2008) adalah proses penguraian bahan makanan yang
menghasilkan energi. Respirasi dilakukan baik pada siang maupun malam hari. Respirasi terjadi pada seluruh bagian tubuh tumbuhan, pada tumbuhan
tingkat tinggi respirasi terjadi baik pada akar, batang maupun daun dan secara
kimia pada respirasi aerobik pada karbohidrat (glukosa) adalah kebalikan
fotosintesis. Pada respirasi pembakaran glukosa oleh oksigen kan menghasilkan
energi karena semua bagian tumbuhan tersusun atas jaringan dan jaringan
tersusun atas sel, maka respirasi terjadi pada sel.
Reaksi yang terjadi pada proses respirasi sebagai berikut :
C6H12O6 + 6 O2 6
CO2 + 6 H2O
Transpirasi
merupakan proses hilangnya air dalam bentuk
uap air dari jaringan hidup tanaman yang terletak di atas permukaan tanah
melewati stomata, lubang kutikula, dan lentisel. 80% air yang ditranspirasikan berjalan
melewati lubang stomata, paling besar peranannya dalam transpirasi Produk hortikutura yang
telah dipanen ini juga melakukan transpirasi yang mencirikan bahwa produk ini
tetap hidup. Sasmitamihardja (1996) menambahkan bahwa transpirasi penting bagi
tumbuhan, karena berperan dalam hal membantu meningkatkan laju angkutan air dan
garam mineral, mengatur suhu tubuh dengan cara melepaskan kelebihan panas dari
tubuh dan mengatur turgor optimum di dalam sel.
PENANGANAN
PASCA PANEN
Pengolahan
yang tepat terhadap produk hortikultura segar setelah pemanenan atau di lapang
produksi dan kemudian diteruskan hingga produk siap dikonsumsi perlu dilakukan untuk
menjaga kualitas produk tetap baik. Deteriorasi
atau perusakan produk dapat terjadi karena perlakuan pemangkasan, penjarangan
produk, pemupukan, pengendalian hama-penyakit dan lain sebagainya. Untuk
menghindari penyebab atau menunda permulaan deteriorasi perlu memperhatikan
beberapa tindakan atau kegiatan budidaya tersebut.
Penanganan
produk pasca panen untuk menangulangi proses metabolisme yang terjadi adalah
dengan melakukan pelapisan (coating). Pelapisan dimaksudkan untuk melapisi
permukaan produk dengan bahan yang dapat menekan laju respirasi maupun menekan
laju transpirasi produk selama penyimpanan atau pemasaran. Pelapisan juga
bertujuan untuk menambah perlindungan bagi produk terhadap pengaruh luar.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa pelapisan dapat memperpanjang masa simpan
dan menjaga produk segar dari kerusakan seperti pada apel, leci, mangga, dan
tomat.
Pelilinan
(waxing) merupakan salah satu pelapisan pada buah untuk menambah lapisan
lilin alami yang biasanya hilang saat pencucian, dan juga untuk menambah kilap
buah. Keuntungan lain pelilinan adalah menutup luka yang ada pada permukaan
buah. Pelilinan digunakan untuk memperpanjang masa segar buah atau
memperpanjang daya tahan simpan buah bilamana fasilitas pendinginan (ruang
simpan dingin) tidak tersedia. Namun perlu diingat bahwa tidak semua komoditi
buah memiliki respon yang baik terhadap pelilinan. Faktor kritis pelilinan buah
adalah tingkat ketebalan lapisan lilin. Terlalu tipis lapisan lilin yang
terbentuk di permukaan buah membuat pelilinan tidak efektif, namun bila
pelapisan terlalu tebal akan menyebabkan kebusukan buah,
Pelapisan
lilin dapat menggunakan lapisan yang harus memenuhi syarat sebagai pelapis
sehingga tidak membahayakan konsumen. Pelapisan lilin selain berfungsi sebagai
penekan laju respirasi buah juga dapat mencegah buah terserang oleh
mikroorganis yang dapat menurunkan kualitas buah. Salah satu pelapis yang tidak
berbahaya adalah penggunaan edible film. Edibble film merupakan lapisan tipis
yang dapat menyatu dengan bahan pangan, layak dimakan dan dapat diurai oleh
mikroorganisme Edible film dibentuk sebagai coating pada permukaan bahan
makanan atau bagian bahan yang berbeda
(Rachmawati,2010).
Beberapa macam lilin yang digunakan dalam upaya memperpanjang masa simpan
dan kesegaran buah adalah lilin tebu (sugarcane wax) lilin karnauba (carnauba
wax), resin, terpen resin termoplastik, shellac, lilin lebah madu (bees
wax) dan sebagainya. Saat sekarang lilin komersial siap pakai yang dapat dan sering
digunakan para produsen buah adalah lilin dengan nama dagang Brogdex-Britex
Wax.
Salah
satu jenis pelapis lainnya yang dikembangkan selain pelapis lilin adalah
khitosan, yaitu polisakarida yang berasal dari limbah kulit udang-udangan (Crustaceae),
kepiting dan rajungan (Crab). Khitosan mempunyai potensi yang cukup
baik sebagai pelapis buah-buahan misalnya pada tomat dan leci. Sifat lain
khitosan adalah dapat menginduksi enzim chitinase pada jaringan tanaman yaitu
enzim yang dapat mendegradasi khitin yang merupakan penyusun dinding sel fungi,
sehingga ada kemungkinan dapat digunakan sebagai fungisida. Teknik aplikasi
atau penggunaan lilin pada buah dapat dengan menggunakan teknik pencelupan buah
dalam larutan lilin (dipping), pembusaan (foaming), penyemprotan
(spraying), dan pengolesan atau penyikatan (brushing).
Ioannou
dan Mohamed ( 2013) dalam jurnalnya memberikan penjelasan terkait efektivitas
dalam pelapisan (coating) yang terangkum dalam tabel berikut:
Tabel 1. Efektivitas Pengunaan Jenis dan Komposisi Pelapis masing-masing
Produk
Produk
|
Jenis
Pelapis
|
Perlakuan
|
Hasil
|
Referensi
|
Delima
|
Pati + gliserol
|
Pati + gliserol (2:
1)
Minyak biji (300/600
ppm)
15 menit pada suhu kamar
|
penundaan yang signifikan
terhadap kecoklatan dengan lapisan tepung dengan minyak biji 300ppm.
|
(Oz
& Ulukanli, 2012)
|
Putrescine + lilin Carnauba
|
Putrescine + lilin
carnauba perlakuan diletakan dalam suhu penyimpanan2 °C paparan di 20 ◦C selama
3 hari
|
Penundaan yang sangat
lama terhadap kerusakan, dan kecoklatan selama penyimpanan serta penurunan
tingkat laju respirasi dan etilena
|
(Barman,
Asrey & Pal, 2011)
|
|
Melon
|
Pektin
|
Dehidrasi osmotik
dari melon segar-meletakkannya dalam 40 ° Bx sukrosa larutan yang mengandung
0,5% kalsium laktat solusi + pelapisan dengan pektin 1%
|
Bertambahnya
kesegaran sampai 14 hari
ketahanan dan
pelestarian struktur selular oleh kalsium laktat
Pengurangan kerusakan
mekanis selama Penyimpanan
Meningkatkan kadar
padatan larut produk, peningkatan penerimaan sensorik melon dilapisi oleh
osmotik dehidrasi
|
(Ferrari,
Sarantopoulos, Carmello-Guerreiro & Hubinger, 2011)
|
Alginate
|
Alginate + (2,5% +
0,7% MA serai, minyak kayu manis atau 0,3%)
|
Pencegahan hilangnya
kecoklatan dan pembusukan
|
(Raybaudi-Massilia,
Rojas-Graue, Mosqueda-Melgar & Martin-Belloso, 2008)
|
|
Apel
|
Konjak Glukomanan
|
Konjak Glukomanan +
ekstrak buah nanas pada konsentrasi yang berbeda dalam distillated air
|
Keterlambatan
enzimatik kecoklatan. hasil terbaik diperoleh dengan ekstrak buah nanas
(1:1).
|
(Supapvanich,
Prathaan & Tepsorn, 2012)
|
Alginate
|
Solusi alginate
dengan lemongrass atau oregano minyak atau vanili + Dipping di kalsium
klorida
|
Pencegahan hilangnya
kecoklatan dan kebusukan
|
(Rojas-Graue,
Soliva-Fortuny & Martin-Belloso, 2009)
|
|
|
Trehalose
|
Trehalose 0,8%,
Sukrosa 0,1% dan natrium klorida 0.1%
|
Pelapis ini
mengurangi fenomena browning. Namun, hanya penurunan berat badan yang
diamati.
|
(Albanese,
Cinquanta & Di Matteo, 2007)
|
Jamur
|
Gel lidah buaya
dan/atau
Tragacanth karet
|
Gel Aloe vera (30%
w/w) karet tragacanth (10% w/w) Gel Aloe vera + karet tragacanth (50% w/w) +
kalsium klorida (0,2 g/l) dan asam sitrat (40 g/l)
|
Kombinasi dari
keduanya lebih efisien untuk menunda kecoklatan.
|
(Mohebbi,
Ansarifar, Hasanpour & Amiryousefi, 2012)
|
Pepaya
|
khitosan
|
Solusi khitosan 0.02
g/ml
|
Pencegahan hilangnya
kecoklatan dan kebusukan
|
(Gonzalez-Aguilar
et al., 2009)
|
Irisan mangga
|
khitosan
|
Mencuci, pengelupasan,
memotong dan perendaman selama 1 menit dalam larutan pada pH chitosan 0, 0,5,
1 dan 2% = 5 menggunakan 0.1 M NaOH pengeringan pada 25 ° C 30 min
penyimpanan pada 6° C
|
Pelapisan
meningkatkan kesegaran, mengurangi berat badan, penundaan kecoklatan (7 hari
tanpa perubahan signifikan warna) perbedaan antara 0,5 dan 1 / 2% chitosan
solusi untuk menurunkan berat
|
(Chien,
Sheu & Yang, 2007)
|
Stroberi
|
Perbandingan antara
Pati, Carrageenan dan Chitosan
|
Karagenan 0,3% (w /
v) pH = 5.6 dengan 50% asam sitrat + Tween 80 (surfaktan) antara 0,01 dan
0,1%
|
Pelapisan dengan
Carrageenan memberikan hasil terbaik untuk mencegah perubahan warna dan
hilangnya kebusukan.
|
(Ribeiro,
Vicente, Teixeira & Miranda, 2007)
|
Berdasarkan
tabel diatas dapat diketahui bahwa setiap produk hortikultura memerlukan
teknik, jenis dan komposisi pelapis yang berbeda-beda untuk mendapatkan
efektivitas yang sesuai. Hal ini dikarenakan setiap produk memiliki
karakteristik yang berbeda mulai dari ukuran, jenis kulit dan tanggapan fisiologis
terhadap hasil pelapisan.
KESIMPULAN
Setiap
produk hortikultura baik itu sayur-sayuran maupun buah-buahan yang telah
dipanen tetap melakukan proses metabolisme berupa respirasi dan transpirasi.
Proses metabolisme ini merugikan bagi manusia karena proses ini dapat
mengakibatkan penurunan kualitas kandungan gizi dan mengakibatkan produk
tersebut mengalami kerusakan sehingga menurunkan harga jualnya. Untuk itulah
perlu dilakukannya pelapisan (coating) sebagai penganti pelapis alami produk hortikultura
yang hilang akibat pencucian dengan harapan dapat menekan laju respirasi dan transpirasi serta
menambah perlindungan bagi produk terhadap pengaruh luar.
Bahan
pelapis harus tidak berbahaya bagi konsumen. Pada umunya bahan pelapis yang
digunakan yakni lilin alami seperti lilin tebu (sugarcane wax) lilin
karnauba (carnauba wax), resin, terpen resin termoplastik, shellac,
lilin lebah madu (bees wax) dan
khitosan, yaitu polisakarida yang berasal dari limbah kulit
udang-udangan (Crustaceae), kepiting dan rajungan (Crab). Teknik
pelapisan ini meliputi pencelupan produk dalam larutan pelapis (dipping),
pembusaan (foaming), penyemprotan (spraying), dan pengolesan atau
penyikatan (brushing). Efektivitas pengunaan pelapis ini tergantung pada
jenis dan konsentrasi pelapis yang akan
digunakan untuk melapisi produk hortikultura tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Bahnasawy, Adel H and El-Sayed G Khater. 2014. Effect of Wax Coating on the Quality of
Cucumber Fruits during Storage. Food Process Technol. Volume. 5. No. 6. Page:
1-8
Campbell, Neil
A et al. 2008. Biologi Edisi Kedelapan jilid 1. Jakarta: Erlangga
Hassan, Z. H et al. 2014. Effects of Wax
Coating Applications and Storage Temperatures on the Quality of Tangerine Citrus
(Citrus reticulata) var. Siam Banjar. International Food Research
Journal. Volume. 21. No. 2. Page : 641-648
Huigang Hu, et al. 2011. Effects of Wax Treatment on Quality and Postharvest
Physiology of Pineapple Fruit in Cold Storage. African Journal of
Biotechnology. Volume. 10. No. 39. Page: 7592-7603
Ioannou, Irina and Mohamed
Ghoul. 2013. Prevention of Enzymatic Browning in Fruit and Vegetables. European
Scientific Journal. Volume. 9. No.30. Page: 310-340
Mazatán, Gladis Yakeline Cortez et al. 2011.
Polyvinyl Acetate as an Edible Coating for Fruits Effect on Selected
Physiological and Quality Characteristics of Tomato. Revista Chapingo Serie
Horticultura 17(1): 15-22
Minh, Nguyen Phuoc. 2014. Application of Edible Coating for Acerola
Preservation. International Journal of Multidisciplinary Research and
Development. Volume. 1. No. 6. Page: 173-177
Puttalingamma, V. 2014. Edible
Coatings of Carnauba Wax ––A Novel Method For Preservation and Extending
Longevity of Fruits and Vegetables- A Review.
Internet Journal of Food Safety. Volume. 16.no. 1. Page: 1-5
Puttalingamma, V.
2015. Post Harvest Losses of Fruits, Vegetables and Its Safety-A Review. International
Journal of Advanced Research. Volume. 3. No. 1. Page: 906-911
Rachmawati,
Maulida. 2010. Pelapisan Chitosan Pada Buah Salak Pondoh (Salacca edulis
Reinw.) Sebagai Upaya Memperpanjang Umur Simpan dan Kajian Sifat Fisiknya
Selama Penyimpanan. Jurnal Teknologi Pertanian. Volume. 6. No.2. Halaman :
45-49
Rajkumar, P and
D. Mitali. 2009. Effect of Different Storage Menthods on Nutritional Quality of
Waterapple Fruits (Syzygium javanica L). Bulgarian Journal of Agricultural
Science. Volume. 15. No 1. Page: 41-46
Sasmitamihardja, Dardjat dan Arbayah H. Siregar. 1996. Dasar-
Dasar Fisiologi Tumbuhan. Bansdung: ITB Press
Suseno,
Natalia et al. 2014. Improving Shelf-Life of Cavendish Banana Using Chitosan
Edible Coating. Procedia Chemistry. Volume. 9. No. 1. Page: 113 – 120
0 comments